Hei, kamu tau? Rasanya begitu awkward melihatmu.
Entahlah, mungkin baru kemarin aku mendengar janji-janji
manismu. Yang kini kutau semua itu palsu. Yang kutangisi di meja kerjaku, tiap
waktu istirahat ketika aku membuka percakapan aku dan kamu dulu. Juga tiap aku
mendengar kau menyanyikan sebuah lagu di voice note yang kini masih kusimpan di
ponselku.
Rasanya memang sedikit aneh menceritakan kisah ini melalui tulisan blogger tanpa kubalut dengan kisah-kisah fanfiction yang masih menumpuk di draft document word folder pribadiku. Tapi apalah daya, aku tak mungkin menceritkan kisah ini pada teman-temanku. Mungkin aku memang menceritakan kisah ini pada seluruh dunia, tapi setidaknya aku tidak memunculkan identitasmu pada siapa pun. Tak seorangpun akan kuberitau identitasmu, hanya Aku, Kamu dan Tuhan yang tau.
Taukah kamu? Aku pernah membayangkan rumah seperti apa yang
ingin kutinggali bersama dirimu. Rumah kecil berlantai dua dengan cat tembok
bernuansa abu-abu dan coklat, mungkin. Dengan rumput dihalaman rumah dan
beberapa tanaman hias yang akan kusirami setiap sore hari. Rumah dengan pintu
gerbang sederhana berwarna hitam didepannya, kurang lebih seperti itulah.
Aku pernah membayangkan bagaimana aku bangun di pagi hari,
kau adalah wajah pertama yang kulihat. Aku akan membangunkanmu dengan secangkir
teh atau kopi yang akan menemanimu membaca koran langganan setiap pagi.
Sementara aku menyiapkan pakaian yang akan kau kenakan di tempat kerja, yang
tentunya telah kusetrika di sela waktu mengurus kebutuhan rumah, anak dan
pekerjaanku. Aku dan kamu berangkat ke tempat kerja masing-masing setelah
menitipkan kedua buah hati ke tempat kakeknya.
Aku pun pernah membayangkan bagaimana aku dan kamu
menggendong buah hati yang kuingin mereka kembar identik satu laki-laki dan
satunya perempuan. Aku menggendong anak perempuan dengan rambut dikucir dua.
Sementara kamu menggendong anak laki-laki yang akan kau ajari cara bermain
bola.
Aku tau ini egoku, tapi aku pun tak ingin muncul sebagai
manusia rendah. Aku tau bagaimana perasaan ibuku dulu saat ayahku
menghianatinya. Aku pun turut menangis di setiap malam mendengar tangisan ibu.
Aku juga tau bagaimana aku sendiri membenci perempuan penyihir itu, aku tau
benar bagaimana ibuku mengumpat dan memakinya dulu. Aku paham akan semua itu.
Itulah alasanku tidak ingin muncul sebagai manusia rendah.
Namun, atas semua rasa sakit dan kecewa yang kuterima ...
Kuucapkan terimakasihku, karena kau telah membuka mata dan
hatiku untuk membiarkan masa laluku bahagia dengan pilihannya yang sekarang.
Untuk benar-benar mengatakan kata ikhlas padanya. Juga untuk tidak lagi
mengungkit-ungkit kehidupannya. Tidak lagi menonton film dengan tema perbedaan
agama dan menangis sejadi-jadinya. Terima kasih untuk kamu dan aku yang tidak
akan pernah menjadi kita. Semoga Tuhan memberikan hal baik untuk kamu, dia, aku
juga dia yang menantiku di masa depan nanti. Amin ^^